Senin, 05 Mei 2014

By Brother My Hero By Fancha



Cakka memberanikan diri membuka matanya begitu ia merasa aman. Padahal ia sudah pasrah saja membiarkan dirinya terkena tamparan. Tangan yang sempat diayunkan temannya itu sama sekali tidak menyentuh pipinya sedikitpun. Perasaan takut yang sempat menghantuinya pelan-pelan memudar begitu melihat sesosok laki-laki tengah menahan tangan temannya itu dengan kuat.
“Lepaskan!” Pemilik tangan itu berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman laki-laki itu. Dia bernama Mario. Seorang laki-laki yang selalu mengganggu Cakka. Bersama dengan Elle, temannya yang begitu tomboi, mereka selalu membuat Cakka menangis. Padahal, mereka sama-sama berumur tujuh tahun. Sekelas pula di sekolah.
“Ellose Karayne!” Cakka langsung menghampiri kakaknya.
Sang pemilik nama segera menoleh dan tersenyum padanya. Sambil menahan dorongan tangan Mario dan Elle, ia menyahut, “Kamu pulang saja. Biar aku yang mengurus dua bocah ini. Bunda sedang mencarimu!”
Cakka menggeleng. Ia tak mau meninggalkannya sendirian dalam keadaan seperti itu. Dua orang teman yang hampir menamparnya itu adalah anak-anak nakal. Ia jelas tak mau melihat kakaknya pulang dengan luka-luka. “Aku ingin membantu!”
“Anak tak berguna sepertimu bisa apa?” ejek Mario.
“Belum diapa-apakan saja sudah menutup mata!”
Ellose Karayne yang akrab dipanggil Elang itu memandang mereka berdua tajam mendengar ucapan tak baik mereka. Kemudian, ia menoleh lagi kepada adiknya.  “Pulang, Chase Karayne.”
“Tapi...”
“Ah!” Mario dan Elle seketika berhasil melepaskan tangan Mario yang ditahan olehnya. Ia mundur beberapa langkah karena dorongan kuat yang mereka lakukan. Cakka segera bersembunyi di balik tubuhnya. Ia sangat takut melihat kedua teman sekelasnya. Masalahnya, mereka sudah sering bertengkar dengan kakaknya karena hal-hal sepele. Cakka takut kakaknya terluka lagi seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya.
“Sudah cukup kalian mengganggu adikku! Sebaiknya kalian pulang dan belajarlah bagaimana caranya bersikap santun kepada orang lain! Jangan kalian pikir aku takut pada kalian karena kalian sering meninggalkan luka di tubuhku!” sahut Elang dengan wajah kesal.
Mario dan Elle tersenyum sinis mendengar ucapan Elang. Mario menyahut kepada Elle, “Setiap kali Cakka diganggu kita, dia selalu bersembunyi di balik tubuh penjaganya. Manja sekali dia.”
“Sudah, ayo kita pergi. Nanti ada yang menangis-menangis meminta bantuan orang lain agar menolongnya. Hampir sama seperti anjing yang hampir tenggelam dalam air.” kata Elle ikut mengejek. Kemudian, mereka berdua langsung pergi meninggalkan Cakka dan Elang.
Setelah mereka hilang dari pandangan, Elang berjalan mendahului Cakka dan berjongkok. Tanpa aba-aba, Cakka langsung segera naik ke punggungnya. Setelah itu, mereka langsung segera berjalan pulang agar tidak membuat orang tua mereka khawatir. Mereka cukup lega masalah kali ini tidak menjadi urusan panjang. Bagaimanapun juga mereka sudah banyak merepotkan orang tua mereka karena perkelahian yang terjadi di antara mereka dengan dua anak nakal itu. Elang sampai tidak habis pikir, alasan apa yang mereka punya untuk mengganggunya terus-menerus. Padahal, selama ini Cakka tak pernah melakukan kesalahan kepada mereka.
Elang mengakhiri gendongannya dan menggandeng tangan Cakka masuk ke dalam rumah begitu mereka sampai di tempat mereka berteduh. Setelah melepaskan sepatu, mereka langsung melangkah menuju kamar. Bunda pasti sedang sibuk memasak di dapur, Ayah sudah pasti bekerja. Elang sudah cukup dewasa untuk tidak mengganggu mereka.
Kamar Cakka dan Elang tidak terlalu besar. Hanya sebuah ruangan dengan dua tempat tidur dan sebuah meja belajar panjang untuk mereka pakai saat mengerjakan tugas. Lantainya dilapisi oleh karpet berwarna merah yang nyaman. Dan di tengah-tengah tempat tidur mereka terdapat sebuah jendela kecil. Mereka berdua sangat senang bermain di sana jika sedang mempunyai banyak waktu senggang.
Elang segera menghampiri meja belajarnya untuk melanjutkan tugas sekolah yang belum ia selesaikan. Umurnya berbeda empat tahun dengan Cakka. Ia sudah berumur sebelas tahun. Cakka baru masuk SD, sementara dirinya sudah masuk kelas empat SD. Tugas sekolahnya jelas lebih banyak dibanding dengan Cakka yang sekolahnya masih terkesan main-main. Sambil menuliskan jawaban dari soal-soal yang harus dikerjakan, ia berusaha menahan amarahnya karena mengingat dua bocah yang mengganggu adiknya tadi.
Sejak kecil, Ayah selalu mengajarkan Elang agar selalu menjadi laki-laki yang sejati. Sudah beribu-ribu kali Ayah mengatakan kepadanya agar selalu menjadi orang yang selalu membela yang benar apapun resikonya, karena laki-laki yang sejati adalah laki-laki yang selalu menegakkan kebenaran. Ayah selalu memberinya contohnya seperti menolong orang lain yang kesusahan, menghargai orang-orang di sekitar dan tentu saja bersikap bijak. Itu sebabnya, Elang tidak ingin Cakka diganggu oleh siapapun. Cakka adalah adik satu-satunya yang ia punya dan Elang tentu saja menyayanginya. Siapapun yang berani membuat adiknya tidak nyaman, akan merasakan juga bagaimana rasanya dibuat tidak nyaman. Bahkan mungkin akan dibalas lebih kasar oleh Elang. Tapi, tentu saja Elang hanya melakukan itu untuk melakukan hal baik, karena sesungguhnya ia tak suka berkelahi. 
Sambil menemani kakaknya belajar, Cakka mengambil gitar kecilnya di dalam lemari bajunya. Lemari yang memiliki banyak laci dan satu ruang kosong yang cukup besar itu terlalu kosong jika hanya diisi dengan baju-baju mereka berdua. Baju Cakka dan Elang tidak terlalu banyak, sehingga menyisakan banyak ruang kosong di dalam lemari itu. Dan dengan polosnya Cakka menaruh gitar kecilnya di sana. Aneh. Itu kata orang-orang. Tapi, Cakka sama sekali tak perduli mendengar celaan orang lain atas perbuatannya itu.
“Hei, Kka...” Elang menghentikan tangannya yang sibuk menulis, kemudian menoleh ke arah Cakka yang sibuk memetik gitar di atas tempat tidur. Cakka juga melakukan hal yang sama begitu mendengar suara kakaknya. Elang beranjak dari tempat duduknya dan langsung duduk di hadapan Cakka. “Sebenarnya apa masalahmu dengan mereka?”
Cakka menggeleng. “Aku tidak tahu. Mereka hanya suka mengangguku.”
“Tanpa alasan? Apa mereka tak pernah diajarkan orang tua untuk bersikap baik kepada semua orang? Aku kesal melihatnya. Aku benar-benar ingin mereka merasakan bagaimana rasanya diganggu.”
Cakka menggeleng. “Ayah pernah bilang, laki-laki yang sejati tak pernah melakukan kekerasan terhadap orang lain karena menuruti emosinya. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, tapi Mas Elang pasti mengerti.”
“Tapi, aku tidak terima kamu selalu diganggu seperti itu!”
“Aku juga tidak ingin mereka mengganggu terus. Tapi, aku yakin, suatu saat nanti, mereka pasti berhenti menggangguku.” kata Cakka. “Aku bercita-cita menjadi musisi. Nanti ketika aku sudah berhasil, mereka pasti kembali baik padaku. Karena di sekolah, mereka baik sekali kepada Gabriel, teman sekelasku yang selalu juara kelas.”
Elang diam.
Cakka tersenyum kecil. “Aku juga tak suka melihatmu selalu terluka karena bertengkar dengan mereka untuk melindungiku. Namun, karena Mas Elang selalu melindungiku, aku jadi tahu kalau Mas Elang bukan hanya hadir sebagai kakakku, tapi juga sosok pahlawan untukku. Aku akan baik-baik saja selama Mas Elang ada di sampingku.”
Elang tersenyum manis mendengar ucapan Cakka. Perlahan-lahan, ia memeluk Cakka dengan erat. Ia benar-benar sayang dengan adiknya itu. “Itu sudah tugasku, Kka.”
Cakka mengangguk. “Asal Mas Elang ada di sampingku, aku tidak keberatan diganggu terus oleh Mario dan Elle. Karena aku tahu, Mas Elang pasti akan melindungiku dari mereka.”
“Elang! Cakka! Sudah sore! Ayo makan dulu!”
Elang melepaskan pelukannya begitu mendengar teriakan Bunda dari lantai bawah. Ia saling bertatap muka dengan Cakka, kemudian tertawa bersama karena merasa lucu mendengar suara Bunda yang bisa terdengar jelas sampai ke kamar mereka. “Iya, Bunda!!”
Dengan riang gembira, mereka langsung turun ke bawah untuk segera makan malam. Bunda terkenal pintar memasak. Semua makanan yang dibuatnya selalu terasa enak di lidah. Tak heran mereka berdua langsung lari menuju ruang makan begitu mengetahui makanan mereka sudah siap. Mereka tak pernah mau melewatkan masakan enaknya. Masalah yang mereka bicarakan tadi seketika terlupakan dari pikiran mereka.

JANGAN LUPA KOMENTARNYA DIBAWAH INI :)