Musim panas adalah surga bagi
seluruh warga kota untuk berlibur dan menghabiskan waktunya dipinggir pantai
atau sekedar hanya untuk berjalan-jalan menggunakan sepeda. Terik matahari
seakan diabaikan oleh penikmatnya yang melupakan bahwa ia akan menjadi lebih
gelap dari sebelumnya. Mungkin alasannya karena sudah cukup digantikan oleh
deru ombak dan suara angin yang bertiup dan berputar-putar mengelilingi langit
alam. Wangi pasir putih yang bercampur dengan air laut dan pecahan-pecahan
kerang seakan menjadi hiburan refleksi ternikmat
seduia. Kakinya yang mungil mengacak-acak pasir dan buih putih air laut. Tak
ada suara yang keluar dari mulut mereka. Hening. Hanya ada suara angin yang
mengembuskan rambut dan suara ombak yang saling mengempaskan.
“Ini adalah pantai terakhir kita.
Aku tidak tahu kapan lagi kita bisa menikmatinya berdua.” Akhirnya yang
berambut pendek mulai bersuara sambil memandangi pohon-pohon bergoyang.
“Aku yakin akan ada yang lebih
indah lagi dari hari ini.” Matanya memandang kebawah. Berusaha bertingkah
biasa-biasa saja walau hatinya ingin sekali meledak dengan air mata.
“Pesawatnya pukul 12:30. Kamu mau
ikut mengantar? Pak Rachmat akan ku minta untuk menjemputmu.”
“Aku bisa pergi sendiri, sayang.
Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Barang-barangmu sudah siap?” Tanya Prita
sambil mendongak keatas untuk melihat wajah kekasihnya yang memiliki tinggi
jauh di atasnya.
Ada sesuatu yang tersentak saat
kata ‘barang-barang’ disebutkan. Bajunya masih tertata rapi didalam lemari. Sementara
koper yang dibelinya kemarin masih kosong dan bersih karena berplastik. Ia merasa tidak punya semangat untuk
mempersiapkan semua, dari yang paling penting sampai yang mudah terlupakan.
Fokusnya hanya satu, melepaskan sesuatu yang amat ia cintai itu akan sangat
menyakitkan.
“Yah, tentu saja.”
Ia memilih berbohong. Karena akan
ada badai besar kalau ia mengatakan yang sebenarnya. Mulut Prita yang begitu ia
kenal akan mengoceh ini-itu agar dia bisa menyelesaikan packing itu secepatnya. Atau malah Prita akan datang kerumah dan
mengobrak-abrik bajunya yang ada di lemari sampai akhirnya rapi didalam koper.
Kembali hening. Tak ada yang
bersuara sedikit pun. Didalam hati mereka ingin menceritakan semua hal sampai
akhirnya nanti tidak ada waktu untuk saling menceritakan dan sampai akhirnya
pula kesibukan menyita waktu mereka untuk saling menghubungi. Sedikit celah di
bibir Prita. Ia ingin mengucapkan banyak kata-kata. Namun ia memilih bungkam
dan memendam semua kepedihan yang ada didalam hatinya. Juga menyadari bahwa kekasih
yang paling ia cintai akan meninggalkannya esok dan mereka akan berjarak hingga
berbeda pulau.
“Aku akan sangat merindukanmu.”
Akhirnya beribu kata-kata yang berada diotak Prita, hanya itu yang bisa ia
keluarkan.
“Aku
juga.” Fery memeluk Prita yang sedikit lebih mungil dari tubuhnya. Hangat. Hawa
kesedihan kemudian kembali bergulir di sela-sela pelukan. Prita yang sedari
tadi berusaha untuk tidak menangis, kini ia dikalahkan oleh bulir-bulir kecil
di atas pelupuk matanya. Sedikit isakan begitu jelas terdengar melalui gendang
telinya Fery. Tapi ia memilih diam dan merenggangkan pelukan. Perlahan, tangan
mungil Prita bergerak diantara telinga dan wajah Fery. Lembut. Di setiap
belayan tangannya, ia harap Fery bisa merasakan apa yang ia rasakan.
*****
Suara mixer yag menderu mengisi kekosongan disetiap ruangan rumahnya yang
sepi layaknya kuburan. Hasil pencampuran dan peradukan dimasukkan kedalam
loyang yang berbentuk persegi panjang. Kemudian loyang tersebut hilang didalam
oven dan digantikan dengan loyang hangat dengan kue bewarna coklat yang sangat
menggugah selera. Hati-hati, Prita membalik loyang tersebut agar bisa mendarat
sempurna diatas sebuat piring besar. Dengan rapi Prita mengiris kue itu menjadi
persegi panjang yang jauh lebih kecil dan tipis dari aslinya. Ia menghela
nafas. Perjuangannya bangun subuh sampai setengah dari tengah hari berakhir
dengan kemenangan.
Ini adalah kue pertamanya setelah
ia vakum karena harus terus belajar untuk UN beberapa bulan yang lalu. Ia
beruntung kali ini, bentuk kue tersebut lebih dari sempurna. Lembut dan masih
hangat. Uap yang mengepul dari kue tersebut bergerak diatas wajah Prita yang
terduduk tak berdaya. Air mukanya mulai berubah. Dari yang sebelumnya tampak
sangat bersemangat, kini lesu dan layu. Tidak ada yang tahu apa yang
menyebabkan ia seperti itu selain dirinya sendiri. Prita sedang memikirkan
sesuatu yang menjadi topik utama didalam otaknya sejak seminggu yang lalu. Ia
selalu menghayal dan bermimpi agar keajaiban datang untuk tidak menjemput semua
kebahagiaannya. Tapi kenyataan terus bergulir dan tetap bergerak sesuai takdir
yang Tuhan berikan. Bahwa esok ia harus melepas dan mengikhlaskan jarak menjadi
jurang terjang yang menjadi penghalang mereka untuk bertemu.
Prita
menghela nafas lagi. Menandakan beban sedang memenuhi punggungnya saat ini.
Kemudian ia memejamkan mata. Pilu itu begitu saja beradu dengan pertahanan
jiwanya yang berusaha tegar. Tapi ia tidak mampu lagi. Seketika semua ruangan
tampak kabur. Ia coba memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi dan esok
semuanya akan kembali baik-baik saja.
*****
Matanya berputar-putar kesegala
arah. Ia berharap bisa menemukan sosok itu sebelum dirinya masuk kedalam
ruangan untuk cek in. Mama dan
papanya tampak bingung dengan tingkah anaknya yang enggan masuk. Lama ia mencari.
Perasaan putus asa mulai menelinap disela-sela hatinya. Mungkin dia marah dan memilih tidak akan datang. Tangannya mulai
ditarik mama untuk memaksa masuk karena sebentar lagi pesawat akan mendarat di
atas aspal panjang.
“sebentar, ma.” Katanya sambil
mengempaskan pegangan mama
“kamu yakin dia akan datang?”
Ia merasa tersentil oleh pertanyaan
itu. Iya, apakah ia akan datang? Apakah kesetiaanku menunggunya disini akan
membuahkan hasil? Sekelebat ragu perlahan hadir diantara sekat-sekat hatinya
yang mulai renggang. Benar saja, keputusasaan itu sudah bergerak perlahan di dalam
dirinya, dan kaki-kaki itu sudah enggan menuruti kata hatinya lagi untuk tetap
menunggu sejenak.
“Fery.” Terdengar teriakan
dibelakang punggungnya. Sosok yang sejak tadi mengganggu fikirannya kini
berdiri dengan memeluk kotak sedang berwarna buram. Senyum itu, senyuman paling
indah yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya disudut dunia manapun. Hawa
hangat kembali mengalir didalam peredaran darahnya. Kini ia bisa menghirup
nafas lega. Refleks, Fery memeluk Prita dengan hati bersalah karena sudah
meragukan kehadiran dan harus meninggalkan nya dalam jangka waktu cukup lama.
Bulir-bulir yang selalu membuat hatinya pilu kembali hadir membasahi wajah
mungil Prita. Ia tahu, ia tidak akan mampu menahan kegundahan di dalam dadanya
disaat-saat akhir seperti ini. Lembut, tangan Fery bergerak menuju wajah Prita
dan menghapus air matanya.
“kamu tidak tahu betapa pilunya aku
yang harus melihat air matamu.” Fery tidak mampu lagi berkata-kata. Kata-kata
yang ia lontarkan itu sangat magis. Seketika saja Prita berhenti menangis dan
memilih untuk menatap Fery tajam.
“Maafkan aku. Oh, iya aku
membuatkan ini untukmu diperjalanan.” Ia mulai teringat dengan kue yang sedari
tadi berada ditangannya.
“terima kasih untuk ini dan untuk
semuanya.”
Ucapan terima kasih itu begitu
mempengaruhi pergerakan tubuhnya. Pipinya mungilnya mulai memerah dan cukup
membuatnya salah tingkah.
“iya. Pergi lah sana, hari baru
sudah menunggumu. Berjanjilah untuk membawa kebanggaan dan kesuksesan saat kau
pulang. Aku berjanji tidak akan membuatmu pilu lagi.”
Prita berbicara janji didalam lisan
dan hatinya. Fery tidak tahu bahwa janji tersebut sudah melumpuhkan Prita yang
begitu sulit memegang janji itu.
“sekali lagi terima kasih, sayang. Saya berjanji untuk terus
menghubungimu.”
Prita tersenyum. Ia tahu, janji
hanya akan sekedar janji. Tidak ada yang tahu sampai kapan kesetiaan ini
menjalar diotak Fery dan Prita. Tapi mereka yakin cinta akan mengalahkan semua
penghalang yang ada. Tidak terkecuali jarak.
Sampai akhirnya suara yang
dihasilkan pesawat ini berbunyi merdu di gendang telinganya pun lambat-laun
mulai samar-samar dan menghilang. Prita kembali terperosok masuk kedalam
kesepian. Ia tahu, tidak ada lagi yang memengang lembut tangannya, mengelus
rambutnya, mengecup keningnya dan memeluk tubuhnya. Beberapa menit percakapan yang mengiris hatinya itu berlalu. Tapi bagi prita semua itu sesingkat kedipan mata. Dan
kini jalan yang terhampar luas membentang dihadapannya. Sendiri, ia akan
melakukan apa pun sendiri lagi. Saat ia berjanji untuk tidak menangis lagi,
sebuat doa terpintas didalam doanya. Aku percaya kamu. Semua yang kamu lakukan
disana, aku yakin kamu akan baik-baik saja.
-Bersambung-
Tulis komentar anda dibawah sini :)