Rabu, 04 September 2013

Terpisah Jarak Bag.1

Musim panas adalah surga bagi seluruh warga kota untuk berlibur dan menghabiskan waktunya dipinggir pantai atau sekedar hanya untuk berjalan-jalan menggunakan sepeda. Terik matahari seakan diabaikan oleh penikmatnya yang melupakan bahwa ia akan menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Mungkin alasannya karena sudah cukup digantikan oleh deru ombak dan suara angin yang bertiup dan berputar-putar mengelilingi langit alam. Wangi pasir putih yang bercampur dengan air laut dan pecahan-pecahan kerang seakan menjadi hiburan refleksi ternikmat seduia. Kakinya yang mungil mengacak-acak pasir dan buih putih air laut. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Hening. Hanya ada suara angin yang mengembuskan rambut dan suara ombak yang saling mengempaskan.

“Ini adalah pantai terakhir kita. Aku tidak tahu kapan lagi kita bisa menikmatinya berdua.” Akhirnya yang berambut pendek mulai bersuara sambil memandangi pohon-pohon bergoyang.
“Aku yakin akan ada yang lebih indah lagi dari hari ini.” Matanya memandang kebawah. Berusaha bertingkah biasa-biasa saja walau hatinya ingin sekali meledak dengan air mata.
“Pesawatnya pukul 12:30. Kamu mau ikut mengantar? Pak Rachmat akan ku minta untuk menjemputmu.”
“Aku bisa pergi sendiri, sayang. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Barang-barangmu sudah siap?” Tanya Prita sambil mendongak keatas untuk melihat wajah kekasihnya yang memiliki tinggi jauh di atasnya.

Ada sesuatu yang tersentak saat kata ‘barang-barang’ disebutkan. Bajunya masih tertata rapi didalam lemari. Sementara koper yang dibelinya kemarin masih kosong dan bersih karena berplastik.  Ia merasa tidak punya semangat untuk mempersiapkan semua, dari yang paling penting sampai yang mudah terlupakan. Fokusnya hanya satu, melepaskan sesuatu yang amat ia cintai itu akan sangat menyakitkan.
“Yah, tentu saja.”
Ia memilih berbohong. Karena akan ada badai besar kalau ia mengatakan yang sebenarnya. Mulut Prita yang begitu ia kenal akan mengoceh ini-itu agar dia bisa menyelesaikan packing itu secepatnya. Atau malah Prita akan datang kerumah dan mengobrak-abrik bajunya yang ada di lemari sampai akhirnya rapi didalam koper.

Kembali hening. Tak ada yang bersuara sedikit pun. Didalam hati mereka ingin menceritakan semua hal sampai akhirnya nanti tidak ada waktu untuk saling menceritakan dan sampai akhirnya pula kesibukan menyita waktu mereka untuk saling menghubungi. Sedikit celah di bibir Prita. Ia ingin mengucapkan banyak kata-kata. Namun ia memilih bungkam dan memendam semua kepedihan yang ada didalam hatinya. Juga menyadari bahwa kekasih yang paling ia cintai akan meninggalkannya esok dan mereka akan berjarak hingga berbeda pulau.

“Aku akan sangat merindukanmu.” Akhirnya beribu kata-kata yang berada diotak Prita, hanya itu yang bisa ia keluarkan.
“Aku juga.” Fery memeluk Prita yang sedikit lebih mungil dari tubuhnya. Hangat. Hawa kesedihan kemudian kembali bergulir di sela-sela pelukan. Prita yang sedari tadi berusaha untuk tidak menangis, kini ia dikalahkan oleh bulir-bulir kecil di atas pelupuk matanya. Sedikit isakan begitu jelas terdengar melalui gendang telinya Fery. Tapi ia memilih diam dan merenggangkan pelukan. Perlahan, tangan mungil Prita bergerak diantara telinga dan wajah Fery. Lembut. Di setiap belayan tangannya, ia harap Fery bisa merasakan apa yang ia rasakan.
*****
Suara mixer yag menderu mengisi kekosongan disetiap ruangan rumahnya yang sepi layaknya kuburan. Hasil pencampuran dan peradukan dimasukkan kedalam loyang yang berbentuk persegi panjang. Kemudian loyang tersebut hilang didalam oven dan digantikan dengan loyang hangat dengan kue bewarna coklat yang sangat menggugah selera. Hati-hati, Prita membalik loyang tersebut agar bisa mendarat sempurna diatas sebuat piring besar. Dengan rapi Prita mengiris kue itu menjadi persegi panjang yang jauh lebih kecil dan tipis dari aslinya. Ia menghela nafas. Perjuangannya bangun subuh sampai setengah dari tengah hari berakhir dengan kemenangan.

Ini adalah kue pertamanya setelah ia vakum karena harus terus belajar untuk UN beberapa bulan yang lalu. Ia beruntung kali ini, bentuk kue tersebut lebih dari sempurna. Lembut dan masih hangat. Uap yang mengepul dari kue tersebut bergerak diatas wajah Prita yang terduduk tak berdaya. Air mukanya mulai berubah. Dari yang sebelumnya tampak sangat bersemangat, kini lesu dan layu. Tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan ia seperti itu selain dirinya sendiri. Prita sedang memikirkan sesuatu yang menjadi topik utama didalam otaknya sejak seminggu yang lalu. Ia selalu menghayal dan bermimpi agar keajaiban datang untuk tidak menjemput semua kebahagiaannya. Tapi kenyataan terus bergulir dan tetap bergerak sesuai takdir yang Tuhan berikan. Bahwa esok ia harus melepas dan mengikhlaskan jarak menjadi jurang terjang yang menjadi penghalang mereka untuk bertemu.

Prita menghela nafas lagi. Menandakan beban sedang memenuhi punggungnya saat ini. Kemudian ia memejamkan mata. Pilu itu begitu saja beradu dengan pertahanan jiwanya yang berusaha tegar. Tapi ia tidak mampu lagi. Seketika semua ruangan tampak kabur. Ia coba memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi dan esok semuanya akan kembali baik-baik saja.
*****
Matanya berputar-putar kesegala arah. Ia berharap bisa menemukan sosok itu sebelum dirinya masuk kedalam ruangan untuk cek in. Mama dan papanya tampak bingung dengan tingkah anaknya yang enggan masuk. Lama ia mencari. Perasaan putus asa mulai menelinap disela-sela hatinya. Mungkin dia marah dan memilih tidak akan datang. Tangannya mulai ditarik mama untuk memaksa masuk karena sebentar lagi pesawat akan mendarat di atas aspal panjang.

“sebentar, ma.” Katanya sambil mengempaskan pegangan mama
“kamu yakin dia akan datang?”
Ia merasa tersentil oleh pertanyaan itu. Iya, apakah ia akan datang? Apakah kesetiaanku menunggunya disini akan membuahkan hasil? Sekelebat ragu perlahan hadir diantara sekat-sekat hatinya yang mulai renggang. Benar saja, keputusasaan itu sudah bergerak perlahan di dalam dirinya, dan kaki-kaki itu sudah enggan menuruti kata hatinya lagi untuk tetap menunggu sejenak.

“Fery.” Terdengar teriakan dibelakang punggungnya. Sosok yang sejak tadi mengganggu fikirannya kini berdiri dengan memeluk kotak sedang berwarna buram. Senyum itu, senyuman paling indah yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya disudut dunia manapun. Hawa hangat kembali mengalir didalam peredaran darahnya. Kini ia bisa menghirup nafas lega. Refleks, Fery memeluk Prita dengan hati bersalah karena sudah meragukan kehadiran dan harus meninggalkan nya dalam jangka waktu cukup lama. Bulir-bulir yang selalu membuat hatinya pilu kembali hadir membasahi wajah mungil Prita. Ia tahu, ia tidak akan mampu menahan kegundahan di dalam dadanya disaat-saat akhir seperti ini. Lembut, tangan Fery bergerak menuju wajah Prita dan menghapus air matanya.

“kamu tidak tahu betapa pilunya aku yang harus melihat air matamu.” Fery tidak mampu lagi berkata-kata. Kata-kata yang ia lontarkan itu sangat magis. Seketika saja Prita berhenti menangis dan memilih untuk menatap Fery tajam.
“Maafkan aku. Oh, iya aku membuatkan ini untukmu diperjalanan.” Ia mulai teringat dengan kue yang sedari tadi berada ditangannya.
“terima kasih untuk ini dan untuk semuanya.”
Ucapan terima kasih itu begitu mempengaruhi pergerakan tubuhnya. Pipinya mungilnya mulai memerah dan cukup membuatnya salah tingkah.
“iya. Pergi lah sana, hari baru sudah menunggumu. Berjanjilah untuk membawa kebanggaan dan kesuksesan saat kau pulang. Aku berjanji tidak akan membuatmu pilu lagi.”
Prita berbicara janji didalam lisan dan hatinya. Fery tidak tahu bahwa janji tersebut sudah melumpuhkan Prita yang begitu sulit memegang janji itu.
“sekali lagi terima kasih,  sayang. Saya berjanji untuk terus menghubungimu.”
Prita tersenyum. Ia tahu, janji hanya akan sekedar janji. Tidak ada yang tahu sampai kapan kesetiaan ini menjalar diotak Fery dan Prita. Tapi mereka yakin cinta akan mengalahkan semua penghalang yang ada. Tidak terkecuali jarak.

Sampai akhirnya suara yang dihasilkan pesawat ini berbunyi merdu di gendang telinganya pun lambat-laun mulai samar-samar dan menghilang. Prita kembali terperosok masuk kedalam kesepian. Ia tahu, tidak ada lagi yang memengang lembut tangannya, mengelus rambutnya, mengecup keningnya dan memeluk tubuhnya. Beberapa menit percakapan yang mengiris hatinya itu berlalu. Tapi bagi prita semua itu sesingkat kedipan mata. Dan kini jalan yang terhampar luas membentang dihadapannya. Sendiri, ia akan melakukan apa pun sendiri lagi. Saat ia berjanji untuk tidak menangis lagi, sebuat doa terpintas didalam doanya. Aku percaya kamu. Semua yang kamu lakukan disana, aku yakin kamu akan baik-baik saja. 

-Bersambung-
Tulis komentar anda dibawah sini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar